Senin, 16 November 2015

Rumitnya omongan orang lain by Tere Liye


Saya kira, banyak diantara kita yang pernah mendengar kisah: seorang bapak, anak dan seekor keledai. 
Yang saat si bapak naik keledai, si anak disuruh jalan, orang2 sibuk berkomentar,
 "Aduh, tega banget, si anak disuruh jalan, bapaknya enak2 naik keledai." 
Lantas si Bapak yang tidak tahan mendengar omongan orang lain, memutuskan si anak naik keledai, bapaknya jalan, tapi orang2 tetap berkomentar,
 "Aduh, dasar anak tidak sopan. Bapaknya disuruh jalan, dia enak2nya naik keledai."
Si Bapak lagi2 termakan omongan orang, memutuskan mereka berdua naik keledai. Tapi lagi2 orang berkomentar, 
"Aduh, dasar tidak punya otak. Keledai kecil gitu, dinaiki dua orang."
 Si Bapak lagi2 termakan omongan, memutuskan mereka berdua turun, berjalan kaki. Tapi orang2 tetap saja berkomentar,
 "Aduh, bodoh banget, punya keledai, eh dua2nya malah jalan."

Cerita ini sering disampaikan oleh guru2 kita. Dan dalam banyak kesempatan, kita mengalami sendiri di dunia nyata. 

 Saya misalnya, menerbitkan buku di group Gramedia. Ada saja yang komentar,
 "Anda ini Tere Liye, kenapa memilih penerbit kristen? Kenapa tidak memilih Mizan? Kenapa membuat kaya mereka?"

Baiklah, kalaupun saya terbitkan di Mizan, apakah komentar akan berhenti? Tidak. Komennya mungkin akan muncul seperti ini,
 "Anda ini Tere Liye, tahu tidak, kalau Mizan itu syiah? Kenapa tidak di Republika?" 

Seolah tahu banget Mizan itu seperti itu. Baiklah, kalaupun saya terbitkan di Republika, apakah komentar orang2 akan padam? Tidak. 
Komennya berubah jadi,
 "Anda ini Tere Liye, memangnya tidak tahu kalau Republika itu punya misi bikin negara Islam? Namanya saja sudah Republik Agama (Republika)?" Lagi2 orang2 ini seolah tahu sekali soal Republika.

Rumit sekali jika kita ingin mendengarkan omongan orang lain. Kita pilih jelaskan baik2, mereka tidak sudi mendengarkan. Kita tidak jelaskan, mereka menyimpulkan makin semaunya. 

Terus terang saja, kalau sudah jengkel, maka saya akan menabok orang2 ini dengan jawaban: "Dek, sudah 8 tahun berlalu, saya sudah punya 20 buku. Situ sudah punya buku berapa? Aduh kasihan, ternyata hanya masih saja nanya2 hal beginian? Meributkan hal2 kecil tiada guna."

Saya tahu, tidak mudah menghadapi omongan orang lain yang seolah tahu banget--padahal cuma sok tahu. Tapi terlepas apapun reaksi kita, selalu pastikan: kitalah yang selalu dalam posisi kongkret (bukan hanya komentator). Dengan demikian, jika kita terpancing emosi, jadi bertengkar, kita tetap tidak rugi, karena kita tetap punya sesuatu yang nyata. Karya yang nyata. Tidak apa marah, namanya juga manusia, besok lusa, kita akan belajar cara terbaik menghadapi omongan orang lain. Toh, kita memang tidak bisa mencegah orang harus ngomong apa soal kita. Dunia ini bebas sekarang, orang2 bahkan merasa bisa memfitnah dengan bebas.

Dan pastikan berkali2, bukan kitalah tukang nyinyir tersebut, karena hidup ini terlalu berharga jika dihabiskan hanya untuk mengomentari orang lain. Orang2 sudah melesat ke bulan, kita hanya terus jadi komentator.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar