SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMALLAH
MAKALAH
Disusun Oleh Kelompok II ( Dua ) :
1. Camelia Mutiara
2.
Desi S
3. Kholilah
4. Nina
5. Sunandar
6. Tria Ningrum R.
Mata Kuliah : Pendidikan
Agama Islam
Dosen : Imam
Syafi’i
Program Study :
Akuntansi
KELAS : REGULER
MALAM R. 308 / SEMESTER I
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS
PAMULANG
Jalan Surya
Kencana Nomor : 1, Pamulang
2014
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMALLAH
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam
penyajian data dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang
berkenan dan banyak kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah i............................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ...................................................... 1
BAB II ISI .......................................................................................... 2
2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia ( HAM ) ...................... 2
2.2 Teori Hak Asasi Manusia ( HAM ) ............................... 3
2.3 HAM Universal Berdasarkan UUD 1945 ...................... 4
2.4 Sejarah
HAM dari Masa ke Masa ................................. 7
2.5 HAM
di Indonesia ........................................................ 9
BAB III PENUTUP ............................................................................... 23
3.1 Kesimpulan .................................................................... 23
3.2 Saran-saran ..................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pengertian syariah atau aspek norma yaitu ajaran yang mengatur prilaku seorang pemeluk agama
Islam. Menurut H. Mohammad Daud Ali (1998:46) “ Yang dimaksud dengan syariat
atau ditulis juga syariah, secara harfiah adalah jalan ke sumber (mata) air
yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan
jalan hidup Muslim. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan
Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek
hidup dan kehidupan manusia..[1]
Dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma
hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam
berdasarkan iman dengan sesame manusia
dan benda dalam masyarakat. Norma hokum
dasar ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai
Rasul-Nya. Karena itu, syariat terdapat di sunnah ( al-qauliyah atau perkataan
). Nabi Muhammad, umat Islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan hidupnya
di dunia ini selama mereka berpegang teguh atau berpedoman kepada Alquran dan
Sunnah Rasulullah. Dengan perkataan lain, umat Islam tidak pernah akan sesat
dalam perjalan hidupnya di dunia ini selama ia mempergunakan pola hidup,
pedoman hidup, tolok ukur hidup dan kehidupan yang terdapat dalam Alquran dan
kitab-kitab hadis yang sahih (sahih=otentik,benar).
B. Rumusan
Masalah
Adapun
masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai syari’ah, ibadah dan mu’amalah. Dalam
makalah ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Apa arti dan ruang
lingkup syari’ah?
2.
Apa arti dan
tujuan ibadah?
3.
Apa arti dan ruang
lingkup muamalah?
C. Tujuan
Makalah
Dari
masalah diatas, secara garis besar tujuan dari penyusunan makalah ini adalah
untuk menjelaskan mengenai syari’ah, ibadah
dan mu’amalah yaitu :
1. Dapat mengetahui mengenai arti dan ruang lingkup syari’ah, sesuai
dengan syariat islam.
2.
Dapat mengetahui
arti ibadah, thaharah yang sesungguhnya sesuai dengan syariat islam.
3.
Dapat mengetahui
arti rukun islam serta muamalah.
D. Manfaat
Makalah
Makalah
ini disusun dengan harapan dapat memberikan kegunaaan atau manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, makalah ini berguna sebagai
pengembangan ilmu, sesuai dengan masalah yang dibahas dalam makalah
ini. Secara praktis, makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. penulis,
seluruh kegiatan penyusunan dan hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan
dapat menambah pengalaman, wawasan dan ilmu dari masalah yang dibahas dalam
makalah ini;
2. pembaca,
makalah ini daharapkan dapat dijadikan sebagai sumber tambahan dan sumber
informasi dalam menambah wawasan pembaca.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Syari’ah dan Ruang Lingkup Syari’ah
2.1.1 Pengertian Syari’ah
Pengertian
syariah atau aspek norma yaitu ajaran yang mengatur prilaku seorang pemeluk agama
Islam. Menurut H. Mohammad Daud Ali (1998:46) “ Yang dimaksud dengan syariat atau ditulis juga syariah,
secara harfiah adalah
jalan ke sumber (mata) air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap
muslim. Syariat merupakan jalan hidup Muslim. Syariat memuat
ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun
berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia..
Dari
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian syariah Islam adalah
tata cara pengaturan tentang perilaku hidup manusia untuk mencapai keridhaan
Allah SWT[3].
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al Jatsiyah ayat 18:
Artinya : “Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat untuk urusan (agama yang benar). Maka
ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.”
Secara
umum syariah terbagi menjadi dua hal yaitu ibadah khusus atau
ibadah mahdlah, dan ibadah dalam arti umum atau muamalah. Ibadah
khusus atau ibadah mahdlah adalah ibadah yang telah dicontohkan
secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW, seperti shalat, puasa, dan haji. Maka dari
itu umat muslim harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diperintahkan
Allah dan diajarkan oleh Nabi Muhammad tanpa boleh melakukan
perubahan-perubahan terhadap ketentuan tersebut. Hal-hal di luar ketentuan
tersebut tidak sah atau batal dan lebih dikenal dengan istilah bid’ah.
Sedangkan
Ibadah umum atau muamalah adalah ibadah yang pelaksanaannya tidak
seluruhnya dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW namun hanya berupa
prinsip-prinsip dasar dan pengembangannya diserahkan pada kemampuan dan daya
jangkau pikiran umat Islam sendiri. Contoh dari muamalah misalnya,
aturan-aturan keperdataan seperti hal-hal yang menyangkut perdagangan, ekonomi,
perbankan, pernikahan, hutang piutang, atau pun juga aturan-aturan dalam bidang
pidana dan tata negara.
2.1.2 Ruang Lingkup Syari’ah
Ruang lingkup syari’ah yang sesungguhnya yaitu
mencakup keseluruhan ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan akidah, ibadah,
akhlaq dan termasuk diantaranya adalah muamalah yang mengatur tentang peraturan
atau system kehidupan manusia.
2.2 Syari’ah dan fiqih serta keabadian syari’ah islam
2.2.1 Pengertian Fiqih
Secara
harfiah dalam bahasa Arab, fiqih adalah pemahaman yang mendalam tentang suatu
hal. Sedangkan Menurut H. Mohammad
Daud Ali (1998:48) “ilmu fiqih
adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan
norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Alquran dan ketentuan-ketentuan
umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis.
Dengan kata lain, ilmu fiqih, selain
rumusan diatas, adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di
dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia
yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam.[4]
Dari
pengertian tadi dapat dipahami bahwa ilmu fiqih merupakan salah satu bidang
ilmu dalam syari’ah Islam yang secara khusus membahas berbagai permasalahan
hukum dalam kehidupan manusia, baik hubungan antara manusia dengan sesama
manusia, juga hubungan manusia dengan Allah. Ilmu fiqih juga dapat
disebut qanun atau undang-undang.
Hal
ini dijelaskan pada QS At-Taubah ayat 123:
Artinya: “Maka apakah
tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber
“tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan
kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga
batas perintah dan larangan Allah).”
2.2.2 Perbedaan Syari’ah dan Fiqih
Syari'ah memiliki pengertian yang amat luas. Tetapi dalam
konteks hukum Islam, makna syari'ah adalah aturan yang bersumber dari nash
yang qat'i sedangkan fiqih
adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang zanni[5].
Penjelasan singkat ini membawa kita harus memahami apa yang
disebut qat'i dan apa pula yang disebut zanni.
2.2.2.1 Nash Qat'i
Qat'i itu terbagi dua: dari sudut datangnya atau
keberadaannya dan dari sudut lafaznya. Semua ayat al-Qur'an itu merupakan qat'i al-tsubut. Artinya, dari segi
"datangnya" ayat Qur'an itu bersifat pasti dan tidak mengalami
perubahan. Tetapi, tidak semua ayat Qur'an itu mengandung qat'i al-dilalah. Qat'i al-dilalah adalah ayat yang
lafaznya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan penafsiran lain. Jadi, pada
ayat yang berdimensi qat'i
al-dilalah tidaklah mungkin diberlakukan penafsiran dan ijtihad,
sehingga pada titik ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat ulama.
Sebagai
contoh: Kewajiban shalat tidaklah dapat disangkal lagi. Dalilnya bersifat Qat'i, yaitu "aqimush shalat". Tidak ada ijtihad dalam kasus ini sehingga
semua ulama dari semua mazhab sepakat akan kewajiban shalat.
Begitu
pula halnya dengan hadis. Hadis mutawatir mengandung
sifat qat'i al-wurud (qat'i dari
segi keberadaannya). Tetapi, tidak semua hadis itu qat'i al-wurud (hanya yang mutawatir saja) dan juga tidak semua hadis mutawatir itu
bersifat qat'i al-dilalah. Jadi, kalau dibuat bagan sbb:
·
Qat'i
al-tsubut atau qat'i al-wurud:
semua ayat Al-Qur'an dan Hadis mutawatir
·
Qat'i
al-dilalah: tidak semua ayat al-Qur'an dan tidak semua
hadis mutawatir
2.2.2.2 Nash Zanni
Zanni
juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat Qur'an
mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam
penafsiran. Ini yang dinamakan zanni
al-dilalah.
Selain
hadis mutawatir, hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini menunjukkan boleh jadi ada satu ulama yang
memandang shahih satu hadis, tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu
shahih. Ini wajar saja terjadi, karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni
al-wuruditu juga ternyata banyak yang mengandung lafaz zanni al-dilalah. Jadi, sudah terbuka
diperselisihkan dari sudut keberadaannya, juga terbuka peluang untuk beragam
pendapat dalam menafsirkan lafaz hadis itu.
·
zanni
al-wurud : selain hadis mutawatir
·
zanni
al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain
(masyhur, ahad)
Sebagai
contoh perbedaan syariah dengan fiqih misalnya kewajiban puasa Ramadhan. Puasa
Ramadhan merupakan syari’ah dan nashnya qat'i, sedangkan waktu kapan mulai puasa dan kapan akhir
Ramadhan adalah fiqih dan nashnya zanni.
2.2.3 Tujuan dan Fungsi Mempelajari Sya’riah
Tujuan
utama yang hendak dicapai dari mempelajari syari’ah adalah untuk mengetahui
hukum syara’ (syariah) berkaitan
dengan perbuatan manusia yang mukallaf (yang
dibebani hukum) sehingga akan diperoleh ketentuan apakah suatu perbuatan itu
dikehendaki, dibolehkan, atau dilarang, atau bagaimana suatu perbuatan itu
dianggap sah atau tidak [6].
Setelah memahami tentang hukum syariah diharapkan nantinya umat Islam akan
mengamalkan syariah Islam dalam kehidupan sehari-harinya dengan baik sehingga memperoleh
kesejahteraan, kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan hidup baik di dunia
maupun di akhirat kelak.
2.2.4 Tujuan Syari’ah (muqhoshidus
syar’i)
Tujuan
syariah erat kaitannya dengan tujuan agama Islam itu sendiri yang ingin
mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi manusia, baik di
dunia maupun di akhirat. Secara khusus, setidaknya ada lima tujuan dari
syariah, yaitu sebagai berikut:
2.2.4.1 Memelihara agama (hifzhud din)
Salah
satu bentuk tanda syukur yang harus kita lakukan adalah berusaha
semaksimal mungkin untuk menjadi muslim sejati dengan mamahami dan mengamalkan
syariah Islam. Dalam konteks memelihara agama, para Rasul diutus oleh Allah
swt dan kita sekarang berkewajiban melanjutkan tugas Rasul itu dengan
cara mengamalkan syariah Islam, apapun kendala dan tantangan yang akan kita
hadapi
2.2.4.2 Memelihara jiwa (hifzhun nafsi)
Memperoleh
kesempatan hidup merupakan karunia yang besar bagi kita, karenanya kesempatan
yang amat berharga ini harus kita gunakan untuk selalu mengabdi kepada Allah
swt. Dalam konteks inilah, hak hidup seseorang menjadi hak yang paling
asasi sehinga harus dijaga dan dipelihara. Disinilah sebabnya mengapa Islam
amat melarang kita untuk menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang bisa
dibenarkan sehingga biloa ini dilakukan dosanya amat besar seperti dosa
2.2.4.3 Memelihara
akal (hifzhul aqli)
Memiliki
akal yang sehat dan cerdas merupakan sesuatu yang amat penting, karena dari
akal yang sehat itulah akan lahir pemikiran yang cemerlang dan manusia bisa
bersikap dan berprilaku yang baik. Karena itu akal harus dipelihara dan jangan
dirusak dengan hal-hal yang memabukkan hingga hilang daya pikirnya serta dengan
hal-hal yang tidak rasional, semua ini menjadi perkara yang menjauhkan kita
dari keberuntungan di dunia dan akhirat.
2.2.4.4 Memelihara kehormatan (hifzhud ardh)
Manusia dicipta oleh Allah swt sebagai makhluk yang mulia
dan terhormat, karenanya syariat Islam amat menekankan kepada manusia untuk
menjaga kehormatannya agar tidak jatuh dan amat rendah melebihi rendahnya
martabat binatang. Salah satu yang membuat martabat manusia bisa amat rendah
adalah dalam kaitan hubungan lelaki dan wanita, karenanya Islam
mensyariatkanlah kepada manusia untuk menikah agar hubungan seksual yang
dilakukannya membuatnya menjadi mulia, bukan malah menjadi hina.
2.2.4.5 Memelihara harta (hifzhul mal)
Setiap
orang pasti memiliki banyak kebutuhan mulai dari makan, minum, berpakaian,
bertempat tinggal, pengembangan diri, kendaraan dan sebagainya. Berbagai
kebutuhan itu harus dapat dipenuhi dengan harta yang dimiliki, karenanya
kebutuhan terhadap harta ada pada setiap orang sehingga mencarinya dengan cara
yang halal menjadi suatu keharusan. Sesudah harta diperoleh, maka menjadi hak
seseorang untuk memilikinya sehingga syariat Islam menekankan pemeliharaan
terhadap harta dan amat tidak dibenarkan bagi orang lain untuk mencurinya.
Pemeliharaan terhadap harta juga harus ditunjukkan dalam bentuk membelanjakan
atau menggunakannya untuk segala kebaikan, sebab bila tidak hal itu termasuk
dalam kategori tabzir atau boros, yakni menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak
benar menurut Allah SWT dan Rasul-Nya, karena pemborosan merupakan kebiasaan
syaitan yang sangat merugikan manusia, harta akan cepat habis sementara
kebiasaan berlebihan menjadi sangat sulit untuk ditinggalkan meskipun dia tidak
memiliki harta yang cukup, karenanya sikap ini harus dijauhi.
2.2.5 Dasar-Dasar Penetapan Syari’ah Islam
Terdapat
empat hal yang menjadi dasar penetapan hukum syariah, yaitu :
2.2.5.1. Tidak
Memberatkan dan Tidak Banyaknya Beban
Dalam
menetapkan syariah, selalu diusahakan aturan-aturan tersebut tidak memberatkan
manusia dalam menjalankannya dan mudah untuk dilaksanakan. Contohnya adalah
perintah wajib berpuasa. Allah hanya mewajibkan kita berpuasa tiga puluh hari
dalam setahun karena apabila lebih dari itu pasti akan memberatkan. Selain itu
bagi mereka yang tidak sanggup berpuasa karena suatu hal seperti sakit atau
bepergian jauh dapat membatalkan puasanya dan menggantinya di hari lain. Contoh
lainnya adalah bagi orang yang tidak sanggup shalat dengan berdiri
diperbolehkan shalat dengan duduk. Ini merupakan bukti bahwa syariah tidak
semakin memberatkan umat Muslim.
2.2.5.2. Berangsur-angsur
dalam Penentuan Hukum
Tiap
masyarakat pasti memiliki adat istiadat yang berlaku di daerahnya, baik yang
bersifat positif maupun negatif. Pada awal mula turunnya Islam masyarakat Arab
juga memiliki berbagai kebiasaan yang sukar dihilangkan, apabila dihilangkan
sekaligus tentu akan mengalami banyak kendala.
Karena faktor kebiasaan yang sudah berlangsung lama dan
sulit diubah tersebut Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan ayat demi
ayat dan surat demi surat, terkadang ayat turun sesuai peristiwa yang terjadi
saat itu. Cara seperti ini dilakukan agar mereka dapat bersiap-siap
meninggalkan ketentuan lama dan menerima hukum baru.
Contohnya adalah kebiasaan minum minuman keras dan
berjudi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Arab pada masa itu. Kemudian
turunlah ayat untuk memperingatkan keburukan dari minuman keras dan judi
sebagai berikut:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar
dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya".
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang
lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir.”
Kemudian
setelah mereka bisa menerima pertimbangan untung rugi minuman keras dan judi,
turun lagi firman Allah untuk melarang minuman keras dan judi dalam QS Al
Maidah ayat 90:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
2.2.6. Keabadian syari’ah islam
Ketentuan-ketentuan
dalam hukum Islam diusahakan agar sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang
baik bagi pemeluknya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada suatu waktu
aturan-aturan hukum yang ada dibatalkan apabila keadaan menghendaki. Selama
kepentingan orang banyak menjadi pedoman dalam pembatalan hukum tersebut maka
boleh jadi hukum yang baru menjadi lebih berat atau lebih ringan dari
sebelumnya. Namun pembatalan hukum ini hanya dilakukan pada masa Rasul. Sesudah
Rasul wafat dan ketentuan hukum Islam sudah lengkap tidak ada lagi pembatalan
hukum.
Contoh
untuk kasus ini adalah ketika ketika qiblat shalat masih mengarah pada Baitul
Maqdis di Palestina kemudian dibatalkan dengan mengarah pada Ka’bah di Mekkah,
seperti dalam firman Allah QS. Al Baqarah ayat 144 :
Artinya: “Kami kadang-kadang melihat pulang baliknya
muka engkau ke arah langit. Maka benar-benar kami akan memberikan kepadamu
suatu qiblat yang engkau sukai. Maka arahkan muka engkau ke arah Masjidil
Haram.”
Bagi syariah Islam semua orang dipandang sama dengan
tidak ada kelebihan di antara mereka satu sama lain. Semua berkedudukan sama di
mata Allah SWT. Kedudukan yang sama tersebut diperintahkan Al-Quran dalam QS
Al-Maidah ayat 8.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
2.3 Ibadah ( arti dan tujuan ibadah : taharah
dan rukun islam )
2.3.1 Pengertian Ibadah (7)
Ibadah
berasal dari kata ‘abd yang artinya abdi, hamba, budak, atau pelayan.
Jadi ibadah berarti, pengabdian, penghambaan, pembudakan,
ketaatan, atau merendahkan diri. Ibadah secara bahasa
(etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Ibadahdapat juga diartikan
sebagai peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung (ritual)
antara manusia dengan Allah Swt. Selain itu juga terdapat berbagai
definisi ibadah lainnya, yaitu:
(1) Ibadah
adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui tutunan
atau contoh dari para Rasul-Nya.
(2) Ibadah
adalah merendahkan diri kepada Allah Swt,
yaitu rasa tunduk dan patuh yang paling tinggi disertai
dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
2.3.1.1 Pembagian Ibadah
Ada
begitu banyak buku, artikel, dan karya yang membahas tentang pembagian ibadah.
Yaitu:
(1) Ibadah
Hati
Ibadah
ini ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati) berupa rasa khauf
(takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan),
raghbah (senang), dan rahbah (takut).
(2) Ibadah
Lisan dan Hati
Ibadah
ini adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan
hati) berupa tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur.
(3) Ibadah
Badan (Fisik) dan Hati
Ibadah
ini adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan
hati) berupa shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah
qalbiyah (fisik dan hati).
Ada
juga yang membagi ibadah menjadi:
1) Ibadah
Mahdlah. Semua perbuatan ibadah yang pelaksanaannya diatur dengan
ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan sunnah. Contoh, salat harus
mengikuti petunjuk Rasulullah saw dan tidak dibenarkan untuk menambah
atau menguranginya, begitu juga puasa, haji dan yang lainnya. Ibadah mahdlah
ini dilakukan hanya berhubungan dengan Allah saja (hubungan ke atas / Hablum Minallah), dan bertujuan
untuk mendekatkan diri (taqarrub)
kepada Allah Swt. Ibadah ini hanya dilaksanakan dengan jasmani dan rohani
saja, karenanya disebut ‘ibadah badaniyah
ruhiyah.
2) Ibadah
Ghairu Mahdlah, yaitu ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut hubungan
dengan Allah, tetapi juga menyangkut hubungan sesama makhluk (Hablum Minallah Wa Hablum Minannas),
atau di samping hubungan ke atas, juga ada hubungan sesama makhluk. Hubungan
sesama makhluk ini tidak hanya sebatas pada hubungan sesama manusia, tetapi
juga hubungan manusia dengan lingkungan alamnya (hewan dan tumbuhan).
3) Ibadah
Dzil-Wajhain, yaitu ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus, yaitu ibadah
mahdlah dan ibadah ghairu mahdlah, seperti nikah.
2.3.1.2 Syarat dan Rukun Ibadah
dalam Islam
2.3.1.2.1 Syarat Ibadah Dalam Islam
Dalam
melakukan ibadah tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali
berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan
harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya
dua syarat:
(1) Ikhlas
karena Allah semata
Syarat
yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena
ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya.Melakukan ibadah dengan ikhlas dan menjalankannya dengan sepenuh
hati, bukan karena / untuk dilihat orang atau dipuji orang
(2) Ittiba’,
sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Syarat kedua
adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut
wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah
atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Rasulullah merupakan utusan-Nya yang
menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya
serta mentaati perintahnya.
2.3.1.2.2 Rukun Ibadah Dalam Islam
Rukun-rukun
ibadah menurut manhaj (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdiri
dari tiga hal.Yaitu:
1. Cinta
( Al-Hubb )
Cinta
adalah rukun ibadah yang terpenting, karena cinta adalah pokok ibadah. Arti
cinta disini tidak hanya terbatas hanya pada hubungan
kasih antara dua insan semata, akan tetapi lebih luas dan
dalam. Kecintaan yang paling tinggi dan mulia di dalam kehidupan
kita ini adalah rasa kecintaan kita kepada Allah Swt. Dimana
jika seorang umat mencintai Allah (tuhannya), maka dia akan
melakukan dan menjalankan semua yang diperintahkan-Nya dan
menjauhi semua yang dilarang oleh-Nya.
2. Takut
( Al-Khouf )
Rukun
ibadah berikutnya adalah Rasa Takut. Dimana dengan adanya rasa takut,
seorang hamba (umat) akan termotivasi untuk mencari ilmu dan
beribadah kepada Allah Swt agar bebas dari murka dan adzab-Nya.
Selain itu, rasa takut inilah yang juga dapat mencegah keinginan seseorang
untuk berbuat maksiat dan perbuatan buruk lainnya.
Yang
dimaksud Rasa Takut seorang muslim disini memang terdiri dari banyak hal. Namun
yang utama ada dalam hati seorang muslim adalah rasa takut akan pedihnya
sakaratul maut, rasa takut akan adzab kubur, rasa takut terhadap siksa neraka,
rasa takut akan mati dalam keadaan yang buruk, rasa takut akan hilangnya iman
dan lain sebagainya.
3. Harap
( Ar-Roja’ )
Rukun
Ibadah yang berikutnya adalah Harap. Yang dimaksud dari harap disini adalah
(rasa) Harapan yang kuat atas rahmat dan balasan berupa pahala dari Allah Swt.
2.3.1.2.3 Sifat dan Ciri Ibadah dalam
Islam
Mustafa
Ahmad al-Zarqa, seorang ahli ilmu fikih menyebutkan beberapa sifat yang menjadi
ciri-ciri ‘ibadah yang benar adalah:
1. Bebas dari
perantara. Dalam beribadah kepada
Allah Swt, seorang muslim tidak memerlukan perantara, akan tetapi harus
langsung kepada Allah.
2. Tidak terikat kepada
tempat-tempat khusus. Secara umum ajaran Islam
tidak mengharuskan penganutnya untuk melakukan ‘ibadah pada tempat-tempat
khusus, kecuali ‘ibadah haji. Islam memandang setiap tempat cukup suci sebagai
tempat ‘ibadah.
3. Tidak memberatkan
dan tidak menyulitkan, sebab Allah Subhanahu
wa ta’alasenantiasa menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki
kesulitan.
2.3.2 Thaharah dan Rukun Islam
2.3.2.1
Thaharah [8]
2.3.2.1.1
2.3.2.1.2
Thaharah dalam ilmu Pengertian Thaharah
Pada pembahasan tentang Ibadah thaharah menempati
posisi yang sangat penting dalam pelaksanaannya, karena thaharah adalah syarat
mutlak syah dan tidaknya shalat yang
dilaksanakan seorang umat muslim. Thaharah secara bahasa berarti nazhafah
(kebersihan) atau bersih dari kotoran baik yang bersifat nyata seperti najis
maupun yang bersifat maknawiyah seperti aib. Menurut Istilah para huqaha’
berarti membersihkan diri hadas dan najis, seperti mandi, berwudhu,
bertayamum. Arti thaharah disini adalah
hal cara bagaimanana mensucikan diri ( badan, pakaian ,dll) agar boleh
menjalankan ibadah. Adapun secara syar’I thaharah adalah menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi kotoran berupa
hadast atau najis dengan menggunakan air dan sebagainya, sedangkan untuk mengangkat
najis harus dengan tanah. [7]
fiqih ialah :
1. Menghilangkan Najis
2. Berwudhu
3. Mandi
4. Tayammum
Alat yang terpenting untuk berwudhu adalah Air
a. Macam-macam air yang dapat dipergunakan untuk bersuci
ada tujuh :
1. Air Hujan
2. Air Sungai
3. Air Laut
4. Air dari mata air ( Telaga )
5. Air Sumur
6. Air Salju
7. Air Embun ( Ringkasnya ialah air bersih yang
sewajarnya )
b. Pembagian air-air tersebut diatas itu dapat terbagi menjadi 4(empat) :
1. Air suci dan mensucikan, artinya dapat sah dapat
digunakan untuk bersuci dan tidak makruh, air semacam itu ialah air mutlak
(muthlag). Artinya air yang sewajarnya, bukan air yang telah bersyarat. Contoh
: Air kelapa dan air kopi bukan air mutlak lagi, karena telah bersyarat,
keduanya itu suci dan dapat diminum, tetapi tidak dapat sah dipergunakan untuk
bersuci seumpama untuk berwudhu atau mandi.
2. Air yang suci tetapi tidk dapat dipergunakan untuk
bersuci seumpama wudhu, mandi dan menghilangkan najis. Air semacam itu
·
Air sedikit yang
sudah bekas dipakai (musta’mal) dari wudhu atau mandi.
·
Air yang bercampur
dengan air suci, seumpamanya air kopi, air teh dsb.
3. Air yang suci dan dapat mensucikan, tetapi makruh
memakainya, yaitu air yang terjemur (musyammas)
4. Air yang benajis (mutannajis). Air yang bernajis itu
ada 2(dua) macam :
·
Jika air itu sedikit,
kemudian kemasukan najis, maka ia tidak sah
dipakai untuk bersuci, dan ia tetep najis hukumnya, baik berubah
sifatnya atau tidak.
·
Jika air itu banyak
(artinya lebih dari 216 liter) maka apabila kemasukan najis yang terlalu
sedikit yang tidak merubah sifatnya, maka hukumnya tetap suci, dan dapat sah
dipergunakan untuk bersuci, tetapi apabila berubah sifatnya ( bau, rupa, dan
rasanya), maka tidak lagi dapat (tidak sah ) dipergunakan untuk bersuci. Air
sedikit artinya kurang dari dua kulah ( kolam )dan kalau dihitung dengan liter
kurang dari 216 liter. Air banyak ialah air yang lebih dari 216 liter. Dua
kulah sama dengan 216 liter, jika berbentuk bak maka besar dengan panjangnya 60
cm.
2.3.2.1. 3 Dasar Hukum Thaharah
Dasar hukum Thaharah disyari’atkannya wudhu ditegaskan
berdasarkan 3 macam alasan :
a) Firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 6:
Artinya : “ Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlan
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki.”
b) Sabda Rasulullah
Artinya : “tidak
menerima shalat slah seorang diantaramu bila ia berhadas, shingga ia berwudhu.
“ ( HR. Al-bukhari dan Muslim )
c) Ijma’. Telah terjalin kesepakatan kaum muslimin atas
disyari’atkannya wudhu semenjak zaman Rasulullah hingga sekarang ini, sehingga
tidak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah ketentuan yang berasal dari agama.
2.3.2.1.4 Keutamaan Wudhu
Keutamaan wudhu banyak sekali hadist-hadist yang
menyebutkan keutaman berwudhu. Sebagiandiantaranya adalah :
Rasulullah bersabda : artinya “Maukah aku tunjukkan
kepadamu perbuatan yang allah akan menghapuskan dosa-dosamu dan mengangkat
derajatmu ? “
Para menjawab : “ Mau ya Rasulullah “
Nabi menjawab : “ Menyempurnakan wudhu dalam masa
keberatan/susah (merasa dingin) dan banyak langkah menuju masjid serta menunggu
shalat demi shalat itulah ribath* (perjuangan), itulah perjuangan, sekali lagi
perjuangan.” (HR.Muslim).
*Ribath : adalah berjihad dan berjuang di jalan Allah
artinya terus menerus bersuci dan beribadah sama nilainya dengan berjihad di
jalan Allah.
Artinya : “ Jika seorang muslim atau mukmin berwudhu,
kemudian ia membasuh mukanya, keluarlah dari mukanya semua dosa yang dilihat
dengan matanya bersama air atau tetesan yang terakhir dari air, dan bila
membasuh kedua tangannya, keluarlah dari tangannya tiap dosa yang disentuh
dengan tangannya bersama air atau tetesan yang akhir dari air dan bila membasuh
kakinya keluarlah dosa yang telah dijalani oleh kakinya bersama air atau
tetesan air yang terakhir, hingga ia keluar bersih dari semua dosa.” ( HR.
Muslim )
2.3.2.2 Rukun Islam [i]
2.3.2.2 Pengertian
Seorang yang telah menyatakan dirinya muslim (
beragama islam ) haruslah mengerti dan menjalankan pokok-pokok keislaman atau
yang disebut rukun islam yang 5. Di bawah ini merupakan rukun islam dan
pengertian-pengertannya yang dikutip dari Wikipedia.
1. Mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima bahwa
Allah SWT itu tunggal dan Nabi Muhammad SAW itu Rasul Allah.
2. Menunaikan sholat 5 kali sehari
3. Mengeluarkan zakat
4. Berpuasa pada bulan Ramadhan
5. Menunaikan haji pada mereka yang mampu.
Rukun Islam yang I (pertama)
Bersaksi tidak ada Ilah yang berhak disembah secara
hak melainkan Allah SWT dan Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT. Syahadat (
persaksian ) ini memiliki makna mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan
hati lalu mengamalkannya melalui perbuatan. Adapun orang yang mengucapkannya
secara lisan namun tidak mengetahui makna dan tidak mengamalkannya, maka tidak
ada manfaat sama sekali dengan syahadatnya.
Rukun Islam yang ke II (dua)
Sholat lima waktu sehari semalam yang Allah SWt
syari’atkan untuk menjadi sarana interaksi antara Allah SWT dengan seorang
muslim dimana ia bermunajad dan berdoa kepadanya. Juga untuk menjadi sarana
pencegah bagi seorang muslim dari perbuatan keji dan mungkar sehingga ia
memperoleh kedamaian jiwa dan badan yang dapat membahagiakannya di dunia dan
akherat.
Rukun Islam yang ke III (tiga)
Puasa pada bulan Ramadhan yaitu bulan ke Sembilan dari
bulan Hijriyah.
Rukun Islam yang ke IV (empat)
Allah SWT telah memerintahkan setiap muslim yang
memiliki harta mencapai nisab untuk mengeluarkan zakat hartanya setiap tahun.
Ia berikan kepada yang berhak menerima dari kalangan yang fakir, serta selain
mereka yang zakat boleh diserahkan kepada mereka sebagaimana telah diterangkan dalam
Al-Quran.
Rukun Islam yang ke V (lima)
Haji ke Baitullah Mekkah sekali seumur hidup. Adapun
lebihnya merupakan sunnah.
2.4 Mu’amallah dan ruang lingkupnya [g]
2.4.1 Pengertian Mu’amallah
Mu’amallah
adalah hubungan antara manusia, hubungan social, atau hablum minannas. Dalam
Syariat Islam hubungan antara manusia tidak dirinci jenisnya, tetapi diserahkan
kepada manusia mengenai bentuknya. Islam hanya membatasi bagian-bagian yang
penting dan mendasar berupa larangan Allah dalam Al-Quran atau larangan
Rasul-Nya yang didapat dalam as-sunnah. Dari segi bahasa Mu’amallah berasal
dari kata ‘aamala, yu’amilu, mu’amalat yang berarti perlakuan atau tindakan
terhadap orang lain, hubungan kepentingan ( seperti jual beli, sewa dsb ).
(munawir,1997:974). Sedangkan secara terminologis, muamallah berarti bagian
hukum amaliah selain ibadah yang mengatur hubungan orang-orang mukallaf antara orang
yang satu dengan lainnya baik secara individu, dalam keluarga maupun dalam
bermasyarakat (kallaf : 1978:32).
2.4.2 Ruang lingkup Mu’amallah
Dari segi bagian-bagiannya ruang
lingkup syariah dalam bidang muamallah, menurut Abdul Wahab Kallaf ( 1978:32-33
) meliputi :
1.
Ahkam al-ahwal
al-syakhiyyah ( hukum keluarga )
Yaitu hukum-hukum
yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami, istri dan anak. Ini dimaksudkan
untuk memelihara dan membangun keluarga sebagai unit kecil.
2.
Al-ahkam al-maliyah (
hukum perdata )
Yaitu hukum tentang
perbuatan usaha perorangan seperti jual beli.
3.
Al-ahkam al-Jinaiyyah
( hukum pidana )
Yaitu hukum yang
bertalian dengan tindak kejahatan dan sangsi-sangsinya. Adanya hukum ini untuk
memelihara ketentraman hidup manusia dan harta kekayaan, kehormatannya, dan
hak-haknya, serta membatasi hubungan antara pelaku tindak kejahatan dengan
korban dan masyarakat.
4.
Al-ahkam al-murafa’at
( hukum acara )
Yaitu hukum yang
berhubungan dengan peradilan ( al-qada ), persaksian (
al-syahadah), dan sumpah ( al-yamin ). Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur
proses peradilan guna meralisasikan keadilan antara manusia.
5.
Al-ahkam
al-dusturiyyah (hukum perundang-undangan)
Yaitu hukum yang
berhubungan dengan perundang-undangan untuk membatasi hubungan hakim dengan
terhukum, serta menetapkan hak-hak perorangan dan kelompok.
6.
Al-ahkam
al-duwaliyyah (hukum kenegaraan)
Yaitu hukum yang
berkaitan dengan hubungan kelompok masyarakat di dalam Negara dan antar Negara.
Maksud hukum ini adalah membatasi hubungan antar Negara dalam masa damai dan
masa perang serta membatasi hubungan antara umat Islam dengan yang lain di
dalam Negara.
7.
Al-ahkam
al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah ( hukum ekonomi dan keuangan)
Yaitu hukum
yangberhubungan dengan hak fakir miskin di dalam harta orang kaya, mengatur
sumber-sumber pendapatan dan masalah pembelanjaan Negara. Dimaksudkan untuk
mengatur hubungan ekonomi antar orang kaya ( agniya ) dengan orang fakir miskin
dan antara hak-hak keuangan Negara dengan perorangan.
Itulah hukum
muamallah yang meliputi 7 bagian hukum yang objek kejadiannya berbeda-beda.
Pembagian seperti itu tentunya bias saja berbeda antara ahli hukum yang satu
dengan yang lain. Yang pasti hukum islam tidak dapat dipisahkan secara tegas
antara hukum public dan hukum privat hamper semua ketentuan hukum islam bias
terkait dengan masalah umum (public) dan juga terkain dengan masalah individu
(privat).
BAB
III
PEMBAHASAN
3. KESIMPULAN
:
Syariah adalah hukum
yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, sedangkan fiqih merupakan ilmu
yang memperdalam tentang hukum syariah, yaitu tentang tata cara ibadah secara
lebih detil. Karena itulah syariah dan fiqih memiliki hubungan yang sangat
erat. Dalam menjalani ibadah haruslah dilandasi oleh perasaan ikhlas, cinta,
takut, dan harap pada Allah semata dan sesuai tuntunan Rasullullah. Dengan
begitu diharapkan kita dapat memperoleh kesejahteraan, kedamaian, ketentraman,
dan kebahagiaan, baik di dunia maupun diakhirat kelak
H.
Mohammad Daud Ali. (1998). Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia ). Jakarta: Rajawali Pers.
Hanafi, A.
(1970). Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . Jakarta: Bulan Bintang.
Ibrahim, M.
(1996). Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa . Jakarta: Gramedia.
[1] Ali, Mohammad Daud.
1998. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia ). Hlm 46
[2] Ali, Mohammad Daud.
1998. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia ). Hlm 47
[3] Mukni’ah.
2011. Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum. Hal.
96-98
[4] Ali, Mohammad Daud.
1998. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia ). Hlm 49
[5] Mukni’ah.
2011. Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum. Hal.
96-98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar