Kamis, 15 Januari 2015

SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMALLAH



SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMALLAH

MAKALAH
 

Disusun Oleh Kelompok II ( Dua ) :
                                                      1.  Camelia Mutiara                       
                                                      2. Desi S                        
                                                      3.  Kholilah                    
                                                      4.  Nina                          
                                                      5.  Sunandar                  
                                                      6.  Tria Ningrum R.      
                                                     


Mata Kuliah : Pendidikan Agama Islam
Dosen : Imam Syafi’i
Program Study : Akuntansi

KELAS : REGULER MALAM R. 308 / SEMESTER I


FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PAMULANG

Jalan Surya Kencana Nomor : 1, Pamulang

2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMALLAH
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyajian data dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan dan banyak kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.



                                                                                                            Penyusun











DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii

BAB I       PENDAHULUAN ...................................................................  1
                 1.1    Latar Belakang  Masalah i............................................... 1
                 1.2    Identifikasi Masalah ......................................................   1

BAB II      ISI ..........................................................................................    2
                 2.1    Pengertian Hak Asasi Manusia ( HAM ) ......................    2
                 2.2    Teori Hak Asasi Manusia ( HAM ) ...............................   3
                 2.3    HAM Universal Berdasarkan UUD 1945 ......................  4
                 2.4    Sejarah  HAM dari Masa ke Masa .................................  7
                 2.5    HAM  di Indonesia ........................................................   9

BAB III    PENUTUP ...............................................................................  23
                 3.1    Kesimpulan .................................................................... 23
                 3.2    Saran-saran ..................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................  24
                
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pengertian syariah atau aspek norma yaitu ajaran  yang mengatur prilaku seorang pemeluk agama Islam. Menurut H. Mohammad Daud Ali (1998:46) “ Yang dimaksud dengan syariat atau ditulis juga syariah, secara harfiah adalah jalan ke sumber (mata) air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan jalan hidup Muslim. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia..[1]
Dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman  dengan sesame manusia dan benda  dalam masyarakat. Norma hokum dasar ini dijelaskan dan atau dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Karena itu, syariat terdapat di sunnah ( al-qauliyah atau perkataan ). Nabi Muhammad, umat Islam tidak pernah akan sesat dalam perjalanan hidupnya di dunia ini selama mereka berpegang teguh atau berpedoman kepada Alquran dan Sunnah Rasulullah. Dengan perkataan lain, umat Islam tidak pernah akan sesat dalam perjalan hidupnya di dunia ini selama ia mempergunakan pola hidup, pedoman hidup, tolok ukur hidup dan kehidupan yang terdapat dalam Alquran dan kitab-kitab hadis yang sahih (sahih=otentik,benar).
B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai syari’ah, ibadah dan mu’amalah. Dalam makalah ini, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.     Apa arti dan ruang lingkup syari’ah?
2.     Apa arti dan tujuan ibadah?
3.     Apa arti dan ruang lingkup muamalah?

C.    Tujuan Makalah
Dari masalah diatas, secara garis besar tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk menjelaskan mengenai syari’ah, ibadah dan mu’amalah yaitu :
1.    Dapat mengetahui mengenai arti dan ruang lingkup syari’ah, sesuai dengan syariat islam.
2.    Dapat mengetahui arti ibadah, thaharah yang sesungguhnya sesuai dengan syariat islam.
3.    Dapat mengetahui arti rukun islam serta muamalah.

D.    Manfaat Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan dapat memberikan kegunaaan atau manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, makalah ini berguna sebagai pengembangan ilmu, sesuai dengan masalah  yang dibahas dalam makalah ini. Secara praktis, makalah ini diharapkan bermanfaat bagi: 
1.      penulis, seluruh kegiatan penyusunan dan hasil dari penyusunan makalah ini diharapkan dapat menambah pengalaman, wawasan dan ilmu dari masalah yang dibahas dalam makalah ini;
2.      pembaca, makalah ini daharapkan dapat dijadikan sebagai sumber tambahan dan sumber informasi dalam menambah wawasan pembaca.













BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Syariah dan Ruang Lingkup Syari’ah
            2.1.1 Pengertian Syari’ah
Pengertian syariah atau aspek norma yaitu ajaran  yang mengatur prilaku seorang pemeluk agama Islam. Menurut H. Mohammad Daud Ali (1998:46) “ Yang dimaksud dengan syariat atau ditulis juga syariah, secara harfiah adalah jalan ke sumber (mata) air yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan jalan hidup Muslim. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia..
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian syariah Islam adalah tata cara pengaturan tentang perilaku hidup manusia untuk mencapai keridhaan Allah SWT[3]. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al Jatsiyah ayat 18:
Artinya : “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat untuk urusan (agama yang benar). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”  
Secara umum syariah terbagi menjadi dua hal yaitu ibadah khusus atau ibadah mahdlah, dan ibadah dalam arti umum atau muamalah. Ibadah khusus atau ibadah mahdlah adalah ibadah yang telah dicontohkan secara langsung oleh Nabi Muhammad SAW, seperti shalat, puasa, dan haji. Maka dari itu umat muslim harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diperintahkan Allah dan diajarkan oleh Nabi Muhammad tanpa boleh melakukan perubahan-perubahan terhadap ketentuan tersebut. Hal-hal di luar ketentuan tersebut tidak sah atau batal dan lebih dikenal dengan istilah bid’ah.
Sedangkan Ibadah umum atau muamalah adalah ibadah yang pelaksanaannya tidak seluruhnya dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW namun hanya berupa prinsip-prinsip dasar dan pengembangannya diserahkan pada kemampuan dan daya jangkau pikiran umat Islam sendiri. Contoh dari muamalah misalnya, aturan-aturan keperdataan seperti hal-hal yang menyangkut perdagangan, ekonomi, perbankan, pernikahan, hutang piutang, atau pun juga aturan-aturan dalam bidang pidana dan tata negara.
2.1.2 Ruang Lingkup Syari’ah
Ruang lingkup syari’ah yang sesungguhnya yaitu mencakup keseluruhan ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan akidah, ibadah, akhlaq dan termasuk diantaranya adalah muamalah yang mengatur tentang peraturan atau system kehidupan manusia.
2.2       Syari’ah  dan fiqih serta keabadian syari’ah islam
2.2.1   Pengertian Fiqih
Secara harfiah dalam bahasa Arab, fiqih adalah pemahaman yang mendalam tentang suatu hal. Sedangkan Menurut H. Mohammad Daud Ali (1998:48) “ilmu fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Alquran dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis. Dengan kata lain, ilmu fiqih, selain rumusan diatas, adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam.[4]
Dari pengertian tadi dapat dipahami bahwa ilmu fiqih merupakan salah satu bidang ilmu dalam syari’ah Islam yang secara khusus membahas berbagai permasalahan hukum dalam kehidupan manusia, baik hubungan antara manusia dengan sesama manusia, juga hubungan manusia dengan Allah. Ilmu fiqih juga dapat disebut qanun atau undang-undang.


                        Hal ini dijelaskan pada QS At-Taubah ayat 123:
Artinya: “Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber “tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).”
2.2.2 Perbedaan Syari’ah dan Fiqih
Syari'ah memiliki pengertian yang amat luas. Tetapi dalam konteks hukum Islam, makna syari'ah adalah aturan yang bersumber dari nash yang qat'i sedangkan fiqih adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang zanni[5]. Penjelasan singkat ini membawa kita harus memahami apa yang disebut qat'i dan apa pula yang disebut zanni.
2.2.2.1 Nash Qat'i
Qat'i itu terbagi dua: dari sudut datangnya atau keberadaannya dan dari sudut lafaznya. Semua ayat al-Qur'an itu merupakan qat'i al-tsubut. Artinya, dari segi "datangnya" ayat Qur'an itu bersifat pasti dan tidak mengalami perubahan. Tetapi, tidak semua ayat Qur'an itu mengandung qat'i al-dilalah. Qat'i al-dilalah adalah ayat yang lafaznya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan penafsiran lain. Jadi, pada ayat yang berdimensi qat'i al-dilalah tidaklah mungkin diberlakukan penafsiran dan ijtihad, sehingga pada titik ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat ulama.
Sebagai contoh: Kewajiban shalat tidaklah dapat disangkal lagi. Dalilnya bersifat Qat'i, yaitu "aqimush shalat". Tidak ada ijtihad dalam kasus ini sehingga semua ulama dari semua mazhab sepakat akan kewajiban shalat.
Begitu pula halnya dengan hadis. Hadis mutawatir mengandung sifat qat'i al-wurud (qat'i dari segi keberadaannya). Tetapi, tidak semua hadis itu qat'i al-wurud (hanya yang mutawatir saja) dan juga tidak semua hadis mutawatir itu bersifat qat'i al-dilalah. Jadi, kalau dibuat bagan sbb:
·         Qat'i al-tsubut atau qat'i al-wurud: semua ayat Al-Qur'an dan Hadis mutawatir
·         Qat'i al-dilalah: tidak semua ayat al-Qur'an dan tidak semua hadis mutawatir

2.2.2.2 Nash Zanni
Zanni juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat Qur'an mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah.
Selain hadis mutawatir, hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini menunjukkan boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis, tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja terjadi, karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni al-wuruditu juga ternyata banyak yang mengandung lafaz zanni al-dilalah. Jadi, sudah terbuka diperselisihkan dari sudut keberadaannya, juga terbuka peluang untuk beragam pendapat dalam menafsirkan lafaz hadis itu.
·         zanni al-wurud : selain hadis mutawatir
·         zanni al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)
Sebagai contoh perbedaan syariah dengan fiqih misalnya kewajiban puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan merupakan syari’ah dan nashnya qat'i, sedangkan waktu kapan mulai puasa dan kapan akhir Ramadhan  adalah fiqih dan nashnya zanni. 
2.2.3   Tujuan dan Fungsi Mempelajari Sya’riah
Tujuan utama yang hendak dicapai dari mempelajari syari’ah adalah untuk mengetahui hukum syara’ (syariah) berkaitan dengan perbuatan manusia yang mukallaf (yang dibebani hukum) sehingga akan diperoleh ketentuan apakah suatu perbuatan itu dikehendaki, dibolehkan, atau dilarang, atau bagaimana suatu perbuatan itu dianggap sah atau tidak [6]. Setelah memahami tentang hukum syariah diharapkan nantinya umat Islam akan mengamalkan syariah Islam dalam kehidupan sehari-harinya dengan baik sehingga memperoleh kesejahteraan, kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
2.2.4   Tujuan Syari’ah (muqhoshidus syar’i)
Tujuan syariah erat kaitannya dengan tujuan agama Islam itu sendiri yang ingin mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Secara khusus, setidaknya ada lima tujuan dari syariah, yaitu sebagai berikut:

2.2.4.1 Memelihara agama (hifzhud din)
Salah satu bentuk tanda syukur yang harus kita lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi muslim sejati dengan mamahami dan mengamalkan syariah Islam. Dalam konteks memelihara agama, para Rasul diutus oleh Allah swt  dan kita sekarang berkewajiban melanjutkan tugas Rasul itu dengan cara mengamalkan syariah Islam, apapun kendala dan tantangan yang akan kita hadapi
2.2.4.2 Memelihara jiwa (hifzhun nafsi)
Memperoleh kesempatan hidup merupakan karunia yang besar bagi kita, karenanya kesempatan yang amat berharga ini harus kita gunakan untuk selalu mengabdi kepada Allah swt. Dalam  konteks inilah, hak hidup seseorang menjadi hak yang paling asasi sehinga harus dijaga dan dipelihara. Disinilah sebabnya mengapa Islam amat melarang kita untuk menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan sehingga biloa ini dilakukan dosanya amat besar seperti dosa
                        2.2.4.3 Memelihara akal (hifzhul aqli)
Memiliki akal yang sehat dan cerdas merupakan sesuatu yang amat penting, karena dari akal yang sehat itulah akan lahir pemikiran yang cemerlang dan manusia bisa bersikap dan berprilaku yang baik. Karena itu akal harus dipelihara dan jangan dirusak dengan hal-hal yang memabukkan hingga hilang daya pikirnya serta dengan hal-hal yang tidak rasional, semua ini menjadi perkara yang menjauhkan kita dari keberuntungan di dunia dan akhirat.
2.2.4.4 Memelihara kehormatan (hifzhud ardh)
Manusia dicipta oleh Allah swt sebagai makhluk yang mulia dan terhormat, karenanya syariat Islam amat menekankan kepada manusia untuk menjaga kehormatannya agar tidak jatuh dan amat rendah melebihi rendahnya martabat binatang. Salah satu yang membuat martabat manusia bisa amat rendah adalah dalam kaitan hubungan lelaki dan wanita, karenanya Islam  mensyariatkanlah kepada manusia untuk menikah agar hubungan seksual yang dilakukannya membuatnya menjadi mulia, bukan malah menjadi hina.

2.2.4.5 Memelihara harta (hifzhul mal)  
Setiap orang pasti memiliki banyak kebutuhan mulai dari makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal, pengembangan diri, kendaraan dan sebagainya. Berbagai kebutuhan itu harus dapat dipenuhi dengan harta yang dimiliki, karenanya kebutuhan terhadap harta ada pada setiap orang sehingga mencarinya dengan cara yang halal menjadi suatu keharusan. Sesudah harta diperoleh, maka menjadi hak seseorang untuk memilikinya sehingga syariat Islam menekankan pemeliharaan terhadap harta dan amat tidak dibenarkan bagi orang lain untuk mencurinya. Pemeliharaan terhadap harta juga harus ditunjukkan dalam bentuk membelanjakan atau menggunakannya untuk segala kebaikan, sebab bila tidak hal itu termasuk dalam kategori tabzir atau boros, yakni menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak benar menurut Allah SWT dan Rasul-Nya, karena pemborosan merupakan kebiasaan syaitan yang sangat merugikan manusia, harta akan cepat habis sementara kebiasaan berlebihan menjadi sangat sulit untuk ditinggalkan meskipun dia tidak memiliki harta yang cukup, karenanya sikap ini harus dijauhi.
2.2.5   Dasar-Dasar Penetapan Syari’ah Islam
Terdapat empat hal yang menjadi dasar penetapan hukum syariah, yaitu :
2.2.5.1.      Tidak Memberatkan dan Tidak Banyaknya Beban
Dalam menetapkan syariah, selalu diusahakan aturan-aturan tersebut tidak memberatkan manusia dalam menjalankannya dan mudah untuk dilaksanakan. Contohnya adalah perintah wajib berpuasa. Allah hanya mewajibkan kita berpuasa tiga puluh hari dalam setahun karena apabila lebih dari itu pasti akan memberatkan. Selain itu bagi mereka yang tidak sanggup berpuasa karena suatu hal seperti sakit atau bepergian jauh dapat membatalkan puasanya dan menggantinya di hari lain. Contoh lainnya adalah bagi orang yang tidak sanggup shalat dengan berdiri diperbolehkan shalat dengan duduk. Ini merupakan bukti bahwa syariah tidak semakin memberatkan umat Muslim.
2.2.5.2.      Berangsur-angsur dalam Penentuan Hukum
Tiap masyarakat pasti memiliki adat istiadat yang berlaku di daerahnya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pada awal mula turunnya Islam masyarakat Arab juga memiliki berbagai kebiasaan yang sukar dihilangkan, apabila dihilangkan sekaligus tentu akan mengalami banyak kendala.
Karena faktor kebiasaan yang sudah berlangsung lama dan sulit diubah tersebut Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan ayat demi ayat dan surat demi surat, terkadang ayat turun sesuai peristiwa yang terjadi saat itu. Cara seperti ini dilakukan agar mereka dapat bersiap-siap meninggalkan ketentuan lama dan menerima hukum baru.
Contohnya adalah kebiasaan minum minuman keras dan berjudi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Arab pada masa itu. Kemudian turunlah ayat untuk memperingatkan keburukan dari minuman keras dan judi sebagai berikut:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar  dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”
Kemudian setelah mereka bisa menerima pertimbangan untung rugi minuman keras dan judi, turun lagi firman Allah untuk melarang minuman keras dan judi dalam QS Al Maidah ayat 90:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
2.2.6.      Keabadian syari’ah islam
Ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam diusahakan agar sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang baik bagi pemeluknya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada suatu waktu aturan-aturan hukum yang ada dibatalkan apabila keadaan menghendaki. Selama kepentingan orang banyak menjadi pedoman dalam pembatalan hukum tersebut maka boleh jadi hukum yang baru menjadi lebih berat atau lebih ringan dari sebelumnya. Namun pembatalan hukum ini hanya dilakukan pada masa Rasul. Sesudah Rasul wafat dan ketentuan hukum Islam sudah lengkap tidak ada lagi pembatalan hukum.
Contoh untuk kasus ini adalah ketika ketika qiblat shalat masih mengarah pada Baitul Maqdis di Palestina kemudian dibatalkan dengan mengarah pada Ka’bah di Mekkah, seperti dalam firman Allah QS. Al Baqarah ayat 144 :
Artinya: “Kami kadang-kadang melihat pulang baliknya muka engkau ke arah langit. Maka benar-benar kami akan memberikan kepadamu suatu qiblat yang engkau sukai. Maka arahkan muka engkau ke arah Masjidil Haram.”
Bagi syariah Islam semua orang dipandang sama dengan tidak ada kelebihan di antara mereka satu sama lain. Semua berkedudukan sama di mata Allah SWT. Kedudukan yang sama tersebut diperintahkan Al-Quran dalam QS Al-Maidah ayat 8.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
2.3       Ibadah ( arti dan tujuan ibadah : taharah dan rukun islam )
2.3.1   Pengertian Ibadah (7)
Ibadah berasal dari kata ‘abd yang artinya abdi, hamba, budak, atau pelayan. Jadi ibadah berarti, pengabdian, penghambaan, pembudakan, ketaatan, atau merendahkan diri. Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Ibadahdapat juga diartikan sebagai peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung (ritual) antara manusia dengan Allah Swt. Selain itu juga terdapat berbagai definisi ibadah lainnya, yaitu:
(1)   Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui tutunan atau contoh dari para Rasul-Nya.
(2)   Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Swt, yaitu rasa tunduk dan patuh yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
2.3.1.1 Pembagian Ibadah
Ada begitu banyak buku, artikel, dan karya yang membahas tentang pembagian ibadah. Yaitu:
(1)   Ibadah Hati
Ibadah ini ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati) berupa rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut).
(2)   Ibadah Lisan dan Hati
Ibadah ini adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati) berupa tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur.
(3)   Ibadah Badan (Fisik) dan Hati
Ibadah ini adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati) berupa shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati).

                                   Ada juga yang membagi ibadah menjadi:
1)      Ibadah Mahdlah. Semua perbuatan ibadah yang pelaksanaannya diatur dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan sunnah. Contoh, salat harus mengikuti petunjuk Rasulullah saw dan tidak dibenarkan untuk menambah atau menguranginya, begitu juga puasa, haji dan yang lainnya. Ibadah mahdlah ini dilakukan hanya berhubungan dengan Allah  saja (hubungan ke atas / Hablum Minallah), dan bertujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Ibadah ini hanya dilaksanakan dengan jasmani dan rohani saja, karenanya disebut ‘ibadah badaniyah ruhiyah.
2)      Ibadah Ghairu Mahdlah, yaitu ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut hubungan dengan Allah, tetapi juga menyangkut hubungan sesama makhluk (Hablum Minallah Wa Hablum Minannas), atau di samping hubungan ke atas, juga ada hubungan sesama makhluk. Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya sebatas pada hubungan sesama manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungan alamnya (hewan dan tumbuhan).
3)      Ibadah Dzil-Wajhain, yaitu ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus, yaitu ibadah mahdlah dan ibadah ghairu mahdlah, seperti nikah.



2.3.1.2 Syarat dan Rukun Ibadah dalam Islam
                                                2.3.1.2.1 Syarat Ibadah Dalam Islam
Dalam melakukan ibadah tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
(1)   Ikhlas karena Allah semata
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya.Melakukan ibadah dengan ikhlas dan menjalankannya dengan sepenuh hati, bukan karena / untuk dilihat orang atau dipuji orang
(2)   Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.
Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Rasulullah merupakan utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya.
2.3.1.2.2 Rukun Ibadah Dalam Islam
Rukun-rukun ibadah menurut manhaj (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdiri dari  tiga hal.Yaitu:
1.      Cinta ( Al-Hubb )
Cinta adalah rukun ibadah yang terpenting, karena cinta adalah pokok ibadah. Arti cinta disini tidak  hanya terbatas hanya pada hubungan kasih antara dua insan semata, akan tetapi lebih luas dan dalam. Kecintaan yang paling tinggi dan mulia di dalam kehidupan kita ini adalah rasa kecintaan kita kepada Allah Swt. Dimana jika seorang umat mencintai Allah (tuhannya), maka dia akan melakukan dan menjalankan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang oleh-Nya.
2.      Takut ( Al-Khouf )
Rukun ibadah berikutnya adalah Rasa Takut. Dimana dengan adanya rasa takut, seorang hamba (umat) akan termotivasi untuk mencari ilmu dan beribadah kepada Allah Swt agar bebas dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat maksiat dan perbuatan buruk lainnya.
Yang dimaksud Rasa Takut seorang muslim disini memang terdiri dari banyak hal. Namun yang utama ada dalam hati seorang muslim adalah rasa takut akan pedihnya sakaratul maut, rasa takut akan adzab kubur, rasa takut terhadap siksa neraka, rasa takut akan mati dalam keadaan yang buruk, rasa takut akan hilangnya iman dan lain sebagainya.
3.      Harap ( Ar-Roja’ )
Rukun Ibadah yang berikutnya adalah Harap. Yang dimaksud dari harap disini adalah (rasa) Harapan yang kuat atas rahmat dan balasan berupa pahala dari Allah Swt.
2.3.1.2.3 Sifat dan Ciri Ibadah dalam Islam
Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ahli ilmu fikih menyebutkan beberapa sifat yang menjadi ciri-ciri ‘ibadah yang benar adalah:
1. Bebas dari perantara. Dalam beribadah kepada Allah Swt, seorang muslim tidak memerlukan perantara, akan tetapi harus langsung kepada Allah.
2. Tidak terikat kepada tempat-tempat khusus. Secara umum ajaran Islam tidak mengharuskan penganutnya untuk melakukan ‘ibadah pada tempat-tempat khusus, kecuali ‘ibadah haji. Islam memandang setiap tempat cukup suci sebagai tempat ‘ibadah.
3. Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan, sebab Allah Subhanahu wa ta’alasenantiasa menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan.
2.3.2   Thaharah dan Rukun Islam
                                    2.3.2.1 Thaharah [8]
                                                2.3.2.1.1
            2.3.2.1.2 Thaharah dalam ilmu Pengertian Thaharah
Pada pembahasan tentang Ibadah thaharah menempati posisi yang sangat penting dalam pelaksanaannya, karena thaharah adalah syarat mutlak syah dan tidaknya  shalat yang dilaksanakan seorang umat muslim. Thaharah secara bahasa berarti nazhafah (kebersihan) atau bersih dari kotoran baik yang bersifat nyata seperti najis maupun yang bersifat maknawiyah seperti aib. Menurut Istilah para huqaha’ berarti membersihkan diri hadas dan najis, seperti mandi, berwudhu, bertayamum.  Arti thaharah disini adalah hal cara bagaimanana mensucikan diri ( badan, pakaian ,dll) agar boleh menjalankan ibadah. Adapun secara syar’I thaharah adalah menghilangkan  hal-hal yang dapat menghalangi kotoran berupa hadast atau najis dengan menggunakan air dan sebagainya, sedangkan untuk mengangkat najis harus dengan tanah. [7]
fiqih ialah :
1. Menghilangkan Najis
2. Berwudhu
3. Mandi
4. Tayammum
Alat yang terpenting untuk berwudhu adalah Air
a.    Macam-macam air yang dapat dipergunakan untuk bersuci ada tujuh :
1.    Air Hujan
2.    Air Sungai
3.    Air Laut
4.    Air dari mata air ( Telaga )
5.    Air Sumur
6.    Air Salju
7.    Air Embun ( Ringkasnya ialah air bersih yang sewajarnya )
b.    Pembagian air-air tersebut  diatas itu dapat terbagi menjadi 4(empat) :
1.    Air suci dan mensucikan, artinya dapat sah dapat digunakan untuk bersuci dan tidak makruh, air semacam itu ialah air mutlak (muthlag). Artinya air yang sewajarnya, bukan air yang telah bersyarat. Contoh : Air kelapa dan air kopi bukan air mutlak lagi, karena telah bersyarat, keduanya itu suci dan dapat diminum, tetapi tidak dapat sah dipergunakan untuk bersuci seumpama untuk berwudhu atau mandi.
2.    Air yang suci tetapi tidk dapat dipergunakan untuk bersuci seumpama wudhu, mandi dan menghilangkan najis. Air semacam itu
·         Air sedikit yang sudah bekas dipakai (musta’mal) dari wudhu atau mandi.
·         Air yang bercampur dengan air suci, seumpamanya air kopi, air teh dsb.
3.    Air yang suci dan dapat mensucikan, tetapi makruh memakainya, yaitu air yang terjemur (musyammas)
4.    Air yang benajis (mutannajis). Air yang bernajis itu ada 2(dua) macam :
·         Jika air itu sedikit, kemudian kemasukan najis, maka ia tidak sah  dipakai untuk bersuci, dan ia tetep najis hukumnya, baik berubah sifatnya atau tidak.
·         Jika air itu banyak (artinya lebih dari 216 liter) maka apabila kemasukan najis yang terlalu sedikit yang tidak merubah sifatnya, maka hukumnya tetap suci, dan dapat sah dipergunakan untuk bersuci, tetapi apabila berubah sifatnya ( bau, rupa, dan rasanya), maka tidak lagi dapat (tidak sah ) dipergunakan untuk bersuci. Air sedikit artinya kurang dari dua kulah ( kolam )dan kalau dihitung dengan liter kurang dari 216 liter. Air banyak ialah air yang lebih dari 216 liter. Dua kulah sama dengan 216 liter, jika berbentuk bak maka besar dengan panjangnya 60 cm.
2.3.2.1. 3 Dasar Hukum Thaharah
Dasar hukum Thaharah disyari’atkannya wudhu ditegaskan berdasarkan 3 macam alasan :
a)    Firman Allah dalam surat  Al Maidah ayat 6:
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlan mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
b)    Sabda Rasulullah
Artinya : “tidak menerima shalat slah seorang diantaramu bila ia berhadas, shingga ia berwudhu. “ ( HR. Al-bukhari dan Muslim )
c)    Ijma’. Telah terjalin kesepakatan kaum muslimin atas disyari’atkannya wudhu semenjak zaman Rasulullah hingga sekarang ini, sehingga tidak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah ketentuan yang berasal dari agama.
2.3.2.1.4 Keutamaan Wudhu
Keutamaan wudhu banyak sekali hadist-hadist yang menyebutkan keutaman berwudhu. Sebagiandiantaranya adalah :
Rasulullah bersabda : artinya “Maukah aku tunjukkan kepadamu perbuatan yang allah akan menghapuskan dosa-dosamu dan mengangkat derajatmu ? “
Para menjawab : “ Mau ya Rasulullah “
Nabi menjawab : “ Menyempurnakan wudhu dalam masa keberatan/susah (merasa dingin) dan banyak langkah menuju masjid serta menunggu shalat demi shalat itulah ribath* (perjuangan), itulah perjuangan, sekali lagi perjuangan.” (HR.Muslim).
*Ribath : adalah berjihad dan berjuang di jalan Allah artinya terus menerus bersuci dan beribadah sama nilainya dengan berjihad di jalan Allah.
Artinya : “ Jika seorang muslim atau mukmin berwudhu, kemudian ia membasuh mukanya, keluarlah dari mukanya semua dosa yang dilihat dengan matanya bersama air atau tetesan yang terakhir dari air, dan bila membasuh kedua tangannya, keluarlah dari tangannya tiap dosa yang disentuh dengan tangannya bersama air atau tetesan yang akhir dari air dan bila membasuh kakinya keluarlah dosa yang telah dijalani oleh kakinya bersama air atau tetesan air yang terakhir, hingga ia keluar bersih dari semua dosa.” ( HR. Muslim )
2.3.2.2 Rukun Islam [i]
2.3.2.2 Pengertian
Seorang yang telah menyatakan dirinya muslim ( beragama islam ) haruslah mengerti dan menjalankan pokok-pokok keislaman atau yang disebut rukun islam yang 5. Di bawah ini merupakan rukun islam dan pengertian-pengertannya yang dikutip dari Wikipedia.
1.    Mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima bahwa Allah SWT itu tunggal dan Nabi Muhammad SAW itu Rasul Allah.
2.    Menunaikan sholat 5 kali sehari
3.    Mengeluarkan zakat
4.    Berpuasa pada bulan Ramadhan
5.    Menunaikan haji pada mereka yang mampu.
Rukun Islam yang I (pertama)
Bersaksi tidak ada Ilah yang berhak disembah secara hak melainkan Allah SWT dan Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT. Syahadat ( persaksian ) ini memiliki makna mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan hati lalu mengamalkannya melalui perbuatan. Adapun orang yang mengucapkannya secara lisan namun tidak mengetahui makna dan tidak mengamalkannya, maka tidak ada manfaat sama sekali dengan syahadatnya.
Rukun Islam yang ke II (dua)
Sholat lima waktu sehari semalam yang Allah SWt syari’atkan untuk menjadi sarana interaksi antara Allah SWT dengan seorang muslim dimana ia bermunajad dan berdoa kepadanya. Juga untuk menjadi sarana pencegah bagi seorang muslim dari perbuatan keji dan mungkar sehingga ia memperoleh kedamaian jiwa dan badan yang dapat membahagiakannya di dunia dan akherat.
Rukun Islam yang ke III (tiga)
Puasa pada bulan Ramadhan yaitu bulan ke Sembilan dari bulan Hijriyah.
Rukun Islam yang ke IV (empat)
Allah SWT telah memerintahkan setiap muslim yang memiliki harta mencapai nisab untuk mengeluarkan zakat hartanya setiap tahun. Ia berikan kepada yang berhak menerima dari kalangan yang fakir, serta selain mereka yang zakat boleh diserahkan kepada mereka sebagaimana telah diterangkan dalam Al-Quran.
Rukun Islam yang ke V (lima)
Haji ke Baitullah Mekkah sekali seumur hidup. Adapun lebihnya merupakan sunnah.
2.4       Mu’amallah dan ruang lingkupnya [g]

            2.4.1 Pengertian Mu’amallah

Mu’amallah adalah hubungan antara manusia, hubungan social, atau hablum minannas. Dalam Syariat Islam hubungan antara manusia tidak dirinci jenisnya, tetapi diserahkan kepada manusia mengenai bentuknya. Islam hanya membatasi bagian-bagian yang penting dan mendasar berupa larangan Allah dalam Al-Quran atau larangan Rasul-Nya yang didapat dalam as-sunnah. Dari segi bahasa Mu’amallah berasal dari kata ‘aamala, yu’amilu, mu’amalat yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan ( seperti jual beli, sewa dsb ). (munawir,1997:974). Sedangkan secara terminologis, muamallah berarti bagian hukum amaliah selain ibadah yang mengatur hubungan orang-orang mukallaf antara orang yang satu dengan lainnya baik secara individu, dalam keluarga maupun dalam bermasyarakat (kallaf : 1978:32).
2.4.2 Ruang lingkup Mu’amallah
Dari segi bagian-bagiannya ruang lingkup syariah dalam bidang muamallah, menurut Abdul Wahab Kallaf ( 1978:32-33 ) meliputi :
1.    Ahkam al-ahwal al-syakhiyyah ( hukum keluarga )
Yaitu hukum-hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami, istri dan anak. Ini dimaksudkan untuk memelihara dan membangun keluarga sebagai unit kecil.
2.    Al-ahkam al-maliyah ( hukum perdata )
Yaitu hukum tentang perbuatan usaha perorangan seperti jual beli.
3.    Al-ahkam al-Jinaiyyah ( hukum pidana )
Yaitu hukum yang bertalian dengan tindak kejahatan dan sangsi-sangsinya. Adanya hukum ini untuk memelihara ketentraman hidup manusia dan harta kekayaan, kehormatannya, dan hak-haknya, serta membatasi hubungan antara pelaku tindak kejahatan dengan korban dan masyarakat.
4.    Al-ahkam al-murafa’at ( hukum acara )
Yaitu hukum yang berhubungan dengan peradilan ( al-qada ), persaksian     ( al-syahadah), dan sumpah ( al-yamin ). Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur proses peradilan guna meralisasikan keadilan antara manusia.
5.    Al-ahkam al-dusturiyyah (hukum perundang-undangan)
Yaitu hukum yang berhubungan dengan perundang-undangan untuk membatasi hubungan hakim dengan terhukum, serta menetapkan hak-hak perorangan dan kelompok.
6.    Al-ahkam al-duwaliyyah (hukum kenegaraan)
Yaitu hukum yang berkaitan dengan hubungan kelompok masyarakat di dalam Negara dan antar Negara. Maksud hukum ini adalah membatasi hubungan antar Negara dalam masa damai dan masa perang serta membatasi hubungan antara umat Islam dengan yang lain di dalam Negara.
7.    Al-ahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah ( hukum ekonomi dan keuangan)
Yaitu hukum yangberhubungan dengan hak fakir miskin di dalam harta orang kaya, mengatur sumber-sumber pendapatan dan masalah pembelanjaan Negara. Dimaksudkan untuk mengatur hubungan ekonomi antar orang kaya ( agniya ) dengan orang fakir miskin dan antara hak-hak keuangan Negara dengan perorangan.

Itulah hukum muamallah yang meliputi 7 bagian hukum yang objek kejadiannya berbeda-beda. Pembagian seperti itu tentunya bias saja berbeda antara ahli hukum yang satu dengan yang lain. Yang pasti hukum islam tidak dapat dipisahkan secara tegas antara hukum public dan hukum privat hamper semua ketentuan hukum islam bias terkait dengan masalah umum (public) dan juga terkain dengan masalah individu (privat).






















BAB III
PEMBAHASAN

3. KESIMPULAN :
Syariah adalah hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, sedangkan fiqih merupakan ilmu yang memperdalam tentang hukum syariah, yaitu tentang tata cara ibadah secara lebih detil. Karena itulah syariah dan fiqih memiliki hubungan yang sangat erat. Dalam menjalani ibadah haruslah dilandasi oleh perasaan ikhlas, cinta, takut, dan harap pada Allah semata dan sesuai tuntunan Rasullullah. Dengan begitu diharapkan kita dapat memperoleh kesejahteraan, kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan, baik di dunia maupun diakhirat kelak





















H. Mohammad Daud Ali. (1998). Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia ). Jakarta: Rajawali Pers.
Hanafi, A. (1970). Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . Jakarta: Bulan Bintang.
Ibrahim, M. (1996). Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa . Jakarta: Gramedia.




[1] Ali, Mohammad Daud. 1998Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia ). Hlm 46
[2] Ali, Mohammad Daud. 1998Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia ). Hlm 47
[3] Mukni’ah. 2011. Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum. Hal. 96-98
[4] Ali, Mohammad Daud. 1998Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia ). Hlm 49
[5] Mukni’ah. 2011. Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum. Hal. 96-98
[6] Ibid. Hal. 98
[9] http://suarapembaharuan.wordpress.com/2014/06/08/ruang-lingkup-muamalah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar